“Errrrhhhmmmm……”
kurentangkan kedua tanganku ke atas sambil sedikit menggeliat mengendurkan
otot-otot kakuku yang telah lelah bekerja seharian. Sambil menunggu pesanan
datang, aku menatap ke arah jalan raya yang begitu padat di setiap jam pulang
kantor seperti sore ini, lebih tepatnya sepertinya Jakarta tak pernah mengenal
kata “lengang”. Alih-alih langsung menelusuri kepadatan itu untuk segera sampai
di rumah, aku lebih memilih untuk mengisi tenagaku yang telah terkuras di
sebuah kafe di bilangan Menteng ini. Entah hobi, sebuah kebiasaan atau telah
menjadi kewajiban aku melakukannya sejak kafe ini dibuka 1 bulan yang lalu. Ya,
walau kafe ini baru dibuka selama 1 bulan, yang membuatku tak ragu untuk
menjadi pelanggan tetapnya adalah karena suasana di kafe ini sangat tenang
dengan dekorasi indah nan romantis, tanpa pernak pernik mentereng yang terlalu
berlebihan seperti kafe di wilayah pusat jakarta pada umumnya. Sepertinya kafe
ini mengusung tema vintage romantic
kedai kopi di sebuah pedesaan. Mungkin karena tema itulah kafe ini jadi
terkesan sederhana dan tak terlalu menarik perhatian. Untuk menunya sendiri
tempat ini hanya menyediakan berbagai jenis minuman kopi dan dessert saja, sepertinya pendiri tempat
ini ingin menghadirkan oase kecil di tengah hiruk pikuk kehidupan manusia yang
terasa begitu membosankan, khususnya bagi makhluk abstrak sepertiku, haha…..
Bagi seorang Ambivert sepertiku yang
terkadang membutuhkan waktu menyendiri untuk mengisi tenaga di saat sisi introvertku mengambil alih, aku
membutuhkan gua persembunyian untuk memulihkan tenaga, setelah sebagian waktuku
habiskan dengan berusaha menjadi si ekstrovert
demi tuntutan pekerjaan yang aku sebut sebagai “profesionalisme”. Aku seorang bidan biasa yang mencari nafkah demi
sebongkah berlian di sebuah rumah sakit umum pusat pemerintah yang kebanyakan
orang menyebutnya “Rumah Sakit Cari Mati”, mungkin karena terlalu banyaknya
pasien yang masuk tapi tak pernah bisa keluar dengan selamat. Maklumlah,
namanya juga rujukan nasional dan tempat terakhir orang mencari pertolongan,
dengan sebuah keajaiban tentunya. Aku yakin, semua orang yang berada di sana,
baik pasien, keluarga pasien ataupun petugasnya sudah lelah mengharapkan
terjadinya sebuah keajaiban yang sangat langka dan jarang terjadi. Seperti pagi
ini dimana aku membantu 3 operasi pasien hamil dengan perdarahan dan komplikasi
lainnya silih berganti. Kau tahu apa yang kulakukan di sana? Aku bolak balik
ruang operasi - bank darah berkali-kali untuk mengambil berkantong-kantong
darah yang harus aku masukkan ke tubuh pasien di atas meja operasi. Memompa
setiap kantongnya dengan kedua tanganku, berkejaran dengan derasnya darah yang
keluar dari tubuh yang sama. Jika kamu melihatnya, itu seperti menonton film
horor dimana sebuah kamar berukuran kecil menjadi lautan darah dalam seketika.
Sambil menanti sang tokoh utama, malaikat pencabut nyawa beraksi. Tapi kuakui
aku lebih menyukai bertugas di sana dibandingkan harus bernegosiasi dengan
seorang ibu yang ingin membunuh darah daging yang baru saja dilahirkannya, atau
menjaga pintu bangsal agar tak ada ibu yang melarikan diri meninggalkan anak
bayinya yang masih merah tanpa ada perasaan bersalah sedikitpun. Tak jarang
pula harus berdebat dengan seorang ibu yang memaksa agar mengganti hasil
pemeriksaan darah anaknya dikarenakan golongan darah anak dan orang tuanya
tidak berhubungan, demi agar perselingkuhannya tak diketahui oleh sang suami.
Atau harus merasa seperti tahanan yang dijaga ketat oleh beberapa bodyguard
yang akan segera mengambil seorang anak bayi yang masih harus menyusu kepada
ibunya untuk dipisahkan atas kehendak sang nenek mertua hanya karena masalah
hak waris dan tetek bengek tak masuk akal lainnya. Jakarta memang kompleks,
tapi aku tak pernah menyangka hidup sebegitu gilanya. Lalu dimanakah kata “cinta”
itu berada. Ah…….cinta…..seolah dia tak pernah ada dan hanya sebuah bualan
rekayasa manusia.
“Ini
pesanan ibu, silahkan.” kehadiran seorang pelayan yang meletakkan secangkir cappucinno dan sepotong Red velvet di meja membuyarkan semua
lamunan monologku yang melelahkan. “Shit!”
desahku, bukankah aku berada di sini untuk beristirahat dan melupakannya, tapi
malah……
“Maaf……tadi ibu bilang apa?” sontak aku terkejut
melihat rona wajah pelayan tadi yang sedikit kebingungan. Sepertinya umpatanku
tadi terlalu keras. “Ah….tidak, terima kasih” jawabku cepat sambil memberikan
senyum manis kepadanya sambil berdoa semoga dia tak mendengar umpatanku tadi.
“sama-sama bu, ada lagi yang bisa saya bantu?” tanyanya sambil membalas
tersenyum juga. “Cukup. terima kasih.” jawabku, lalu pelayan itupun berlalu. Demi
menghirup sedapnya aroma cappucinno
di depanku, pikiranku serasa lebih tenang. Jika kamu pernah menonton film yang
mengangkat tema kopi dan dibintangi oleh Chicko Jerichko, kamu akan paham bahwa
setiap kopi memiliki filosofinya sendiri, dan aku sependapat. Seseorang
terkadang bisa kita nilai dari jenis kopi yang sering diminumnya. Kepribadian
penikmat cappucinno itu santai, hidup
baginya ringan namun tetap nikmat. Selain itu dia mengutamakan kontrol atas
dirinya dan cenderung perfeksionis.
Lain halnya dengan Cappucinno,
penikmat Espresso yang terasa lebih
pekat kopinya, memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Sedangkan pecinta Latte adalah dia yang suka membantu
orang dan penyuka kopi tanpa kaffein memiliki kecenderungan obsesif dan pengendali. Terlepas dari
itu semua, saat ini aku hanya berharap ada seseorang yang khilaf mencampurkan vodka ke dalam kopiku ataupun memberikan
sedikit serbuk ganja di atas red velvetku,
untuk kunikmati tanpa rasa bersalah dan seketika hidupku terasa lebih ringan.
haha. Rasanya aku mulai gila. Hal yang menjagaku untuk tetap waras adalah
saat-saat tenangku menyeruput secangkir kopi, dan menulis puisi. Puisi? benar,
puisi, dan lebih anehnya puisi romantis berisikan kata cinta dalam setiap
baitnya, walau aku masih beranggapan bahwa cinta hanyalah bualan rekayasa
manusia. Setiap kali aku beristirahat di sini, yang ada di atas mejaku adalah
secangkir cappucinno beserta dessertnya dan juga sebuah notebook kecil berisikan berjuta kata
khayalan. Bagi orang yang belum pernah bertemu dengan cinta itu sendiri, aku
seperti orang munafik yang mampu menggambarkannya secara utuh, suci, dan indah
akan makna sebuah kata cinta. Sungguh ironi, karena sesungguhnya aku lebih
banyak melihat manusia yang menodai makna dari kata yang memabukkan itu. Apakah
aku benar-benar sudah gila. Bukankah orang gila tak akan pernah menganggap
dirinya gila. Entahlah.
Tapi
kurasa aku benar-benar sudah gila, saat mataku tertuju pada seorang pria yang
berjalan dengan anggunnya di atas red
carpet menuju panggung kecil di depan kafe ini. Ya, terkadang kafe ini juga
mengadakan live music performance di
sebuah panggung kecil di depan semua meja pengunjung. Aku baru sadar bahwa hari
ini telah berdiri dengan kokohnya sebuah piano berwarna putih yang terlihat
begitu kontras dengan karpet merah di atas panggung yang kini telah menjadi pusat perhatian
beberapa pengunjung itu. Beberapa kali aku mengunjungi tempat ini, baru empat
kali aku melihat penampilan musik akustik dari dua orang pemuda yang memang
khusus disewa sebagai pengisi acara live
music performancenya. Terus terang menurut penilaianku penampilan mereka
biasa saja, tak ada yang terlalu istimewa walau kuakui mereka mampu membangun
suasana untukku menulis beberapa lembar puisi di notebookku. Tapi entah mengapa sejak pria itu berjalan menuju
panggung sampai duduk di depan piano itu dan melakukan beberapa tes di sana
sini sebelum mulai melakukan pertunjukkan, pandanganku tak mampu lepas darinya.
Pria ini seperti memiliki aura yang tak kumengerti. Jika harus menilai
penampilan fisiknya kurasa dia seperti pria dewasa pada umumnya, tak terlalu
maskulin juga tak terlalu lembut. Wajahnya sedikit persegi dengan kumis tipis
dan berpotongan rambut Quiff. Postur
tubuhnya tegap dengan tinggi sekitar 170an , tidak terlalu atletis juga tidak
gemuk. Berpakaian kemeja berwarna biru gelap berlengan panjang yang dia gulung
sepertiganya, celana khaki serta sepatu kets berwarna senada membuatnya
terkesan rapi tetapi santai. Dan aromanya……sial, aku bahkan mampu menebak
parfum apa yang dia pakai. Hugo boss
orange, aroma yang fresh dan
manis, perpaduan antara bergamot, citrus
dan orange, disusul dengan perpaduan
aroma kayu manis serta vanilla yang cukup lembut memberi pesona yang sedikit
terasa kuat pada pria itu. Apa kamu penasaran kenapa aku bahkan sampai tahu
wanginya, tenang, aku hanya tidak sengaja berpapasan dengan udara di sekitarnya
yang tercipta saat dia berjalan di samping mejaku. Ya, posisi mejaku berada
tepat di tengah jalan menuju panggung dan berada di urutan pertama dari
panggung tersebut. Dan bukankah parfum pria kebanyakan memang dapat tercium
bahkan dari jarak yang cukup jauh sekalipun. Tapi yang membuatku yakin bahwa
aku sudah gila, adalah ini merupakan kali pertama aku memperhatikan seorang
pria sampai sedetail itu. Sungguh tak masuk akal.
Sayup-sayup
terdengar alunan piano yang membuatku tersadar bahwa dia sudah siap menyanyikan
sebuah lagu. Dari intronya, aku yakin dia akan membawakan lagu “Listen to your heart” dari Roxette. Lagu
lawas yang tak akan pernah lekang dimakan jaman. Aku tak mengerti tentang nada,
tapi aku merasa bahwa nada-nada yang dia mainkan terasa sedikit berbeda dari
apa yang sering kudengar pada lagu yang sama. Terasa begitu sedih dan sepi.
Tapi ringan.
“I know there’s
something in the wake of your smile.” padam…..padam….jantungku berdebar
lebih kencang, aku tak mengerti apakah ini pengaruh kopi yang kuminum atau
bukan.
“I get a notion
from the look in your eyes.” suara baritonnya……..membuat pikiranku terasa
ringan dan tipis, melayang dan terbang. Aku mulai berpikir sepertinya memang
ada seseorang yang khilaf memasukkan vodka
ke dalam kopiku atau memberikan serpihan ganja di atas red velvetku. Memabukkan.
“Listen to your
heart, when he’s calling for you. Listen to your heart, there’s nothing else
you can do.” fix jantungku sudah sampai pada titik dimana dia lelah tuk
berpacu dan akhirnya berhenti. Dan selanjutnya aku tak memikirkan apa-apa
selain benar-benar tenggelam dalam performance
pria itu.
Lagu
kedua, aku benar-benar menahan air mataku agar tak keluar. Dia begitu menjiwai
saat membawakan lagu dari mendiang Elvis Presley berjudul I Can’t help falling in love with you yang dicover ulang oleh Kurt Hugo Schneider. “Take my hand…..take my whole life too….for I can’t help falling in love
with you.”tepuk tangan pun mulai riuh di sana-sini. Seketika itu aku
memandangnya dan tatapan kami bertemu. Pada sepersekian detik dia tersenyum ke
arahku. Pasti aku bermimpi, pikirku.
Di
lagu ketiga aku sudah mulai bisa menguasai diriku. Lampu di dalam kafe sudah
mulai menyala semakin terang, menandakan di luar sana sang senja sudah kembali
ke peraduannya. Kupikir ini pun sudah waktunya aku meninggalkan tempat ini.
Saat aku berkemas dan memanggil pelayan untuk memberikan bill padaku, aku sempat mencerna lagu apa yang pria itu bawakan.
Tapi tak satupun kutemukan jawaban. Sepertinya ini adalah lagu yang dia
ciptakan sendiri. Tapi saat kudengar liriknya aku merasa sangat familiar. “saat kulepaskanmu…..bukan
berarti rasa itu tak ada…..hanya kuingin cintamu utuh…..kuberimu waktu…..agar
kau kembali padaku…..utuh”. Ah, lupakan. Jika berlama-lama sepertinya aku akan
langsung berubah menjadi penggemar fanatik pria itu, yang akan senantiasa
mengikutinya kemana pun dia pergi, yang akan menghadang wanita manapun yang
berusaha mendekat. Aku harus bergegas pergi dari sini. Setelah menyelesaikan
pembayaran di mejaku, aku langsung menyongsong barang bawaanku dan berjalan
menuju pintu keluar. Di saat aku akan membuka pintu, aku merasakan seseorang
menepuk bahuku dari belakang. Dan……Astaga! Pria itu berdiri tepat di hadapanku
sekarang. Masih sibuk membedakan antara kenyataan dan halusinasi, pria itu
berkata “Sejak tadi aku memanggilmu, kenapa kau malah pergi?”.
“Maaf…..apakah kita saling kenal?” kataku sambil
berusaha meyakinkan diri bahwa ini nyata.
“Akan.” katanya sambil tersenyum.
“Ya?” tanyaku heran dengan wajah bengong yang
benar-benar terlihat bodoh, pastinya, pikirku.
“Apakah kamu tidak mengenal lirik lagu ketigaku?”
tanyanya sambil mengeluarkan sesuatu dari saku belakang celananya. “Ini notebookmu, bukan?” tanyanya.
Sambil memperhatikan buku kecil yang sudah sedikit
kucal itu, dahiku mengernyit, berusaha mengingat.
Cukup lama sampai akhirnya aku ingat bahwa sepertinya
memang itu milikku yang kusangka telah hilang di rumah. Aku memang memiliki
banyak notebook serupa, tempatku
menumpahkan segala keruwetan pikiranku ke dalamnya. Tak kusangka dia
menemukannya dan……membuatnya menjadi sebuah lagu. Gila.
“Iya itu milikku, kupikir notebook itu telah hilang.”
“Maaf, beberapa hari lalu aku menemukannya saat
sedang menata panggung untuk menempatkan pianoku. waktu itu aku memanggilmu
tapi sepertinya kamu terburu-buru dan aku tak bisa mengejarmu. Tak kusangka di
dalamnya terdapat banyak coretan kata yang indah.”
Dia menjelaskan panjang lebar sambil mengembalikan
buku itu.
“Tidak apa-apa. terima kasih.” ucapku gugup.
“Namaku Gildan, panggil saja Dan. sepertinya aku
benar-benar lancang. maaf ya. Tapi aku benar-benar suka tulisanmu.”
“Panggil saja aku Rhea, dan sepertinya aku harus
meminta ganti rugi darimu…..haha..”. ucapku sedikit bercanda untuk menutupi
rasa grogiku, yang kemudian aku sesali karena sepertinya hal itu membuat Dan
tak berniat mengakhiri percakapan ini. “Oh, Tuhan…….kuatkanlah aku.” jeritku
dalam hati.
“Tentu saja, dengan senang hati. Bagaimana kalo kita
membicarakannya sambil minum secangkir kopi lagi?” tanyanya sambil tertawa
ringan. Tanpa memperdulikan persetujuanku, dia membalik badannya dan mencarikan
kursi untuk kami.
Meninggalkanku yang masih diam mematung di depan
pintu mendengar pertarungan batinku untuk menyetujui atau menolak
permintaannya. Pasalnya kali ini aku benar-benar takut, akan sesuatu yang
bergejolak hebat dalam diriku. Perasaan aneh yang tak pernah kualami
sebelumnya. Terlebih kepada pria asing yang baru kukenal seperti Dan.
Akhirnya
di malam itu pun, kembali tercipta satu di antara jutaan pertemuan dua insan
yang disatukan oleh takdir. Takdir akan sebuah kisah. Kisah cinta, kata bualan
rekayasa manusia. Ataukah kata yang bermakna utuh, suci, dan indah. Yang pasti,
secangkir cappucinno tak akan pernah berkhianat, maknanya tetaplah santai,
ringan namun nikmat. Seperti gelombang rasa yang kualami saat ini, bercampur
dengan alunan musik yang begitu kuat serta memabukkan miliknya. Alunan
secangkir Cappucinno.
Jikapun
secangkir kopi terasa pahit, dia tak akan berkhianat dengan mengatakan manis.
Tak seperti
hidup yang mampu berbasa-basi, memutar balikkan antara kenyataan dan mimpi.
Jikapun
secangkir kopi berwarna hitam, dia tak akan menolakmu memasukkan putihnya susu
ke dalamnya.
Tak seperti
hidup yang akan menjadi porak poranda, bercampur aduk jika kamu berusaha
mencampurinya.
Secangkir kopi
dapat mengajarimu tentang arti hidup. Tapi hidup, belum tentu dapat
memberitahumu kenikmatan secangkir kopi yang lugu.