Waktu. Siapa sih yang tak kenal dengan waktu, sedang
hidup kita selalu berjalan beriringan dengan waktu. Tapi apa benar kamu sudah
mengenal sang waktu ? sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan waktu dan
bagaimana kah pembagian waktu menurut Islam ? Nah, beberapa hari yang lalu saya
mengikuti kajian unik yang membahas tentang sang waktu, karena merasa tertarik
maka saya pun membaca beberapa literasi tentang hal ini. Sekedar keinginan
untuk bisa berbagi di tengah waktu senggang saya (untuk sementara ini) dan
sebagai pengingat saya di waktu yang akan datang, jadi buat teman-teman yang
juga merasa tertarik, Let’s check it out !
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997),
waktu atau masa adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau
keadaan berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval
antara dua buah keadaan / kejadian, atau bisa merupakan lama berlangsungnya
suatu kejadian. Tiap masyarakat memiliki pandangan yang relatif berbeda tentang
waktu yang mereka jalani. Sebagai contoh : masyarakat Barat melihat waktu
sebagai sebuah garis lurus (linier) yang diikuti dengan terbentuknya konsep
tentang urutan kejadian. Dengan kata lain, sejarah manusia dilihat sebagai
sebuah proses perjalanan dalam sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman
sekarang dan zaman yang akan datang. Berbeda dengan masyarakat Barat,
masyarakat Hindu melihat waktu sebagai sebuah siklus yang terus berulang tanpa
akhir. Lalu bagaimanakah Islam memandang sang waktu ?
Sejatinya,
dalam kehidupan kita, kita dianugerahi waktu. Waktu sama dengan kesempatan, dan
kesempatan adalah nikmat terbesar yang dianugerahkan oleh Allah Swt. kepada
kita. Waktu datang dan pergi. Hadir tanpa disadari dan terkadang lenyap juga
tanpa disadari. Jika waktu sudah berlalu, maka tidak bisa diulang lagi. Tidak
bisa dipanggil, dimodifikasi, atau didatangkan ulang. Kita memang bisa menunda
pekerjaan, shalat, haji, shadaqah, puasa, menunda menyelesaikan tugas rumah
tangga, menunda berkarya dan lainnya, tetapi kita tidak bisa menunda waktu. Jika
kita menunda bekerja, hal itu bukan menunda waktu. Waktu terus berjalan, dan
setiap tarikan napas kita makin mendekatkan kita ke liang kubur. Tidak ada yang
bisa memperlambat waktu. Begitu pun, tidak ada yang mampu mempercepat waktu.
Waktu yang tidak bisa ditunda dan dipercepat akan mempertemukan kita dengan
ajal atau kematian. Ajal atau batas waktu hidup termasuk salah satu dari empat
konsep waktu dalam Al-Qur’an yang kedatangannya tidak bisa ditunda atau
dipercepat. Al-Qur’an membagi waktu dalam beberapa istilah, yakni ajal, dahr, ashr dan waqt itu sendiri. Keempat konsep
tersebut memiliki karakter-karakter waktu.(1)
Pertama
adalah Ajal. Ajal merupakan satu istilah yang mewakili satu karakter waktu,
yakni tidak bisa ditangguhkan, diperlambat, di delay, dimajukan, atau digagalkan sama sekali. Begitu pun, ajal
tidak bisa dipercepat barang sedetik pun. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman
:
“Katakanlah,
‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan
kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah.’Tiap-tiap umat mempunyai
ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya
barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS.Yunus [10] :49).
Dalam ayat yang lain, Allah Swt. juga menerangkan :
“Dan, Allah
sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang
waktu kematiannya.Dan, Allah maha mengenal apa yang kamu kerjakan.”(QS.
Al-Munaafiquun [63]:11).
Berdasarkan
ayat tersebut, ajal berarti suatu batasan hidup bagi setiap orang. Apa yang
terjadi saat batas hidup tersebut tiba? tentu kita tidak lagi memiliki waktu.
Waktu yang diberikan oleh Allah Swt. selama hidup untuk digunakan sekehendak
kita menjadi tidak bisa lagi digunakan. Jika waktu diibaratkan garis, maka ajal
adalah ujung garis itu sendiri. Ajal adalah titik terakhir ketika garis itu
berakhir. Titik awal garis tersebut adalah kelahiran, atau dalam konsep
Al-Qur’an disebut dahr, yakni suatu
titik permulaan, starting point, awal
gerak waktu, awal mula manusia dan makhluk lainnya menjalani waktunya
masing-masing.
Kedua
adalah dahr. Menurut Toto Tasmara dalam bukunya, Kecerdasan Ruhaniah
(2001), dahr adalah asal mula
waktu.Yakni suatu permulaan waktu ketika manusia belum disebut manusia. Dahr merupakan batas paling awal dari
sebuah perencanaan, atau dalam konteks ini adalah penciptaan. Jika ajal menjadi
batas akhir, maka dahr adalah batas
awal atau starting point ketika
manusia akan berjalan dan hidup di dalam kedua batas itu. (2) Dalam Al-Qur’an,
Allah Swt. berfirman :
“Bukankah telah
datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan
sesuatu yang dapat disebut ?”(QS. Al-Insaan [76] : 1).
Ayat
tersebut menunjukkan awal permulaan waktu ketika waktu belum dapat disebut. Saat
itu, bukan hanya manusia yang belum diciptakan, tetapi juga seluruh makhluk. Setiap
manusia yang hidup di dunia pasti memiliki awal. Setiap yang memiliki awal pasti
memiliki akhir. Dan, setiap yang memiliki akhir juga pasti memiliki awal. Oleh
karena itu, ajal dan dahr seperti dua
sisi mata uang yang sama. Terpisah tapi tidak bisah dipisahkan.
Quraish
Shihab juga menjelaskan bahwa dahr
adalah saat berkepanjangan yang dilalui alam raya sejak diciptakan hingga
keruntuhannya. Proses panjang tersebut disebut dahr (3). Seperti dalam firman
Allah Swt. berikut :
“Dan, mereka
berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati
dan kita hidup, dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa.’Dan,
mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain
hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jaatsiyah [45] : 24).
Ayat
tersebut mengkritik dan menentang pendapat orang jahiliah yang mengatakan bahwa
tidak ada kebangkitan atau kehidupan setelah kematian, karena hanya ada di
dunia. Lebih parah, mereka menyangka bahwa dahr
adalah penyebab semuanya. Dia (dahr)
yang menghidupkan dan mematikan. Tentu pendapat ini ditentang oleh Al-Qur’an.
Ketiga
adalah Waqt. Menurut Quraish Shihab, waqt
berartibatas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Oleh Karena itu Al-Qur’an sering kali menggunakannya dalam konteks kadar
tertentu dari satu masa. Allah berfirman :
“Maka, apabila
kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu
duduk dan di waktu berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).Sesungguhnya, shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS.
An-Nisaa’ [4] : 103).
Berdasarkan
ayat tersebut, kata “waqt” lebih dekat pengertiannya dengan periode atau ketika
waktu digunakan.Waqt jika
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti waktu atau saat. Dan, konsep Waqtinilah yang paling banyak digunakan
dalam percakapan sehari-hari, karena maknanya adalah waktu, yakni waktu untuk
melaksanakan sesuatu. Dalam hal ini, waktu mengharuskan manusia untuk
mengisinya, karena waktu yang diisi berarti waktu yang bermakna. Membuang-buang
waktu berarti tidak mengisi waktu dengan apa pun atau mengisinya, namun dengan
hal yang tidak semestinya, sehingga waktu hilang dengan percuma. Oleh karena
itu, sering dikatakan bahwa orang yang panjang umur bukan orang yang lama
hidupnya, lama waqt-nya di dunia,
panjang jarak antara dahr dan
ajalnya, melainkan orang yang mengisi waktu dengan hal-hal yang berguna dan
bermanfaat, meskipun umurnya tidak lama.
Jika
ajal adalah akhir waktu manusia, dan dahr
adalah awalnya, maka Waqtialah durasi
antara dahr dan ajal.Bila ajal
merupakan berakhirnya kesempatan, dan dahr
menjadi awal atau permulaan dari kesempatan itu, maka waqt adalah saatnya mengambil kesempatan tersebut. Kita bisa bekerja
karena ada waqt, bukan karena ada dahr atau ajal. Maka, inilah waktu yang
harus benar-benar menjadi perhatian kita, karena Allah Swt. menuntut kita untuk
mempergunakannya. Rasulullah Saw. juga mengkritik umatnya yang tidak paham dan
mengerti apa yang harus dilakukan antara dahr
dan ajal. Rasulullah Saw. bersabda :
“Ada dua
kenikmatan yang membuat banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu
senggang.”(HR. Bukhari).
Hadits
tersebut merujuk kepada Waqt, yakni
kesempatan luas, waktu kosong, atau waktu luang ketika kita masih bisa
menggunakannya untuk berbagai macam hal. Waktu kosong merupakan nikmat yang
besar dari Allah Swt, tetapi kerap dilalaikan dan diabaikan keberadaannya oleh
manusia.
Keempat
adalah ‘Ashr, yang dalam bahasa Arab
adalah perasan. Tetapi, kata ini bisa diartikan waktu menjelang terbenamnya
matahari.Bisa juga diartikan dengan masa secara mutlak. Makna tersebut diambil
berdasarkan asumsi bahwa ‘ashr
merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Karena kata ‘ashrbermakna “perasan”, maka
diasumsikan setiap waktu yang ada harus digunakan untuk memeras keringat dan
pikiran demi kebaikan di dunia dan akhirat. Jika tidak, maka manusia akan rugi.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman :
“Demi
masa.Sesungguhnya, manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya menetapi
kesabaran.”(QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3).
Dalam
ayat tersebut, kata “‘ashr” selain
mengandung arti masa juga menyimpan makna lain di baliknya, yakni etos kerja.
Manusia tidak cukup hanya mengisi waktu, tetapi juga perlu meningkatkan
aktivitasnya dengan etos kerja yang tinggi, memeras keringat, membanting
tulang, memeras pikiran, sehingga keluarlah saripati kehidupan membuat hidup
lebih berarti dan lebih baik. Dengan demikian, lengkaplah dimensi waktu dalam
Al-Qur’an, yang satu dengan yang lain saling terjalin membentuk sinergi yang
harmonis. Satu bagian menjadi permulaan bagi bagian yang lain. Satu bagian lagi
menjadi penanda bagi bagian yang lain.
Itulah
konsep dan pemahaman waktu dalam Al-Qur’an. Waktu bukan sekadar kesempatan atau
durasi, tetapi juga memiliki sejumlah konsekuensi bagi pemiliknya. Siapa pun
yang memiliki waktu akan dimintai tanggung jawab untuk apa waktunya digunakan.
Mereka yang menghargai waktu termasuk orang-orang mukmin yang shalih, sedangkan
mereka yang tidak menghargai waktu termasuk mukmin yang tidak shalih.Oleh
karena itu, waktu diberikan oleh Allah Swt. kepada hamba-Nya sebagai nikmat
yang harus disyukuri dan dihargai. Rasulullah Saw. adalah orang yang sangat
menghargai waktu dan hati-hati dalam menggunakan waktu. Bahkan, beliau berpesan
berkali-kali kepada umatnya untuk menghargai waktu.
Nah,
sekarang sudah lebih mengerti kan tentang konsep waktu menurut Islam,
selanjutnya bagaimana penghargaan Rasulullah Saw sebagai panutan kita, terhadap
waktu, dan bagaimana pula mengatur waktu yang baik ala beliau?. Untuk lebih jelasnya akan saya
bahas di artikel selanjutnya. Buat yang penasaran, ditunggu ya, and tetep stay
tune terus ya
……hoho…..In shaa Allah dalam proses. Untuk kritik, saran atau ada
yang mau berbagai silahkan corat-coret di kolom comment di bawah artikel ini.
Terima kasih banyak. Semoga bermanfaat ^_^
Sumber :
(1) Dr. Quraish Shihab, 1996. Wawasan Al-Qur’an ; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, hlm.
546. Bandung : Mizan.
(2) Toto Tasmara, 2001. Kecerdasan Ruhaniah; Membentuk Kepribadian yang Bertanggung jawab,
Profesional dan Berakhlak, hlm. 154-159. Jakarta : Gema Insani Press.
(3) Dr. Quraish Shihab, 1996. Wawasan Al-Qur’an ; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, hlm.
547. Bandung : Mizan.
M. Sanusi. 2014. Meneladani
Jam-jam Nabi Saw. dalam Beribadah dan Bekerja.Jogyakarta : Najah.