My pLayLisT

Jumat, 09 Desember 2016

Memahami Konsep Waktu



Waktu. Siapa sih yang tak kenal dengan waktu, sedang hidup kita selalu berjalan beriringan dengan waktu. Tapi apa benar kamu sudah mengenal sang waktu ? sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan waktu dan bagaimana kah pembagian waktu menurut Islam ? Nah, beberapa hari yang lalu saya mengikuti kajian unik yang membahas tentang sang waktu, karena merasa tertarik maka saya pun membaca beberapa literasi tentang hal ini. Sekedar keinginan untuk bisa berbagi di tengah waktu senggang saya (untuk sementara ini) dan sebagai pengingat saya di waktu yang akan datang, jadi buat teman-teman yang juga merasa tertarik, Let’s check it out !
                Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), waktu atau masa adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan / kejadian, atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. Tiap masyarakat memiliki pandangan yang relatif berbeda tentang waktu yang mereka jalani. Sebagai contoh : masyarakat Barat melihat waktu sebagai sebuah garis lurus (linier) yang diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian. Dengan kata lain, sejarah manusia dilihat sebagai sebuah proses perjalanan dalam sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Berbeda dengan masyarakat Barat, masyarakat Hindu melihat waktu sebagai sebuah siklus yang terus berulang tanpa akhir. Lalu bagaimanakah Islam memandang sang waktu ?
                Sejatinya, dalam kehidupan kita, kita dianugerahi waktu. Waktu sama dengan kesempatan, dan kesempatan adalah nikmat terbesar yang dianugerahkan oleh Allah Swt. kepada kita. Waktu datang dan pergi. Hadir tanpa disadari dan terkadang lenyap juga tanpa disadari. Jika waktu sudah berlalu, maka tidak bisa diulang lagi. Tidak bisa dipanggil, dimodifikasi, atau didatangkan ulang. Kita memang bisa menunda pekerjaan, shalat, haji, shadaqah, puasa, menunda menyelesaikan tugas rumah tangga, menunda berkarya dan lainnya, tetapi kita tidak bisa menunda waktu. Jika kita menunda bekerja, hal itu bukan menunda waktu. Waktu terus berjalan, dan setiap tarikan napas kita makin mendekatkan kita ke liang kubur. Tidak ada yang bisa memperlambat waktu. Begitu pun, tidak ada yang mampu mempercepat waktu. Waktu yang tidak bisa ditunda dan dipercepat akan mempertemukan kita dengan ajal atau kematian. Ajal atau batas waktu hidup termasuk salah satu dari empat konsep waktu dalam Al-Qur’an yang kedatangannya tidak bisa ditunda atau dipercepat. Al-Qur’an membagi waktu dalam beberapa istilah, yakni ajal, dahr, ashr dan waqt itu sendiri. Keempat konsep tersebut memiliki karakter-karakter waktu.(1) 
                 Pertama adalah Ajal. Ajal merupakan satu istilah yang mewakili satu karakter waktu, yakni tidak bisa ditangguhkan, diperlambat, di delay, dimajukan, atau digagalkan sama sekali. Begitu pun, ajal tidak bisa dipercepat barang sedetik pun. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman :
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah.’Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS.Yunus [10] :49).
Dalam ayat yang lain, Allah Swt. juga menerangkan :
“Dan, Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya.Dan, Allah maha mengenal apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Munaafiquun [63]:11).
                Berdasarkan ayat tersebut, ajal berarti suatu batasan hidup bagi setiap orang. Apa yang terjadi saat batas hidup tersebut tiba? tentu kita tidak lagi memiliki waktu. Waktu yang diberikan oleh Allah Swt. selama hidup untuk digunakan sekehendak kita menjadi tidak bisa lagi digunakan. Jika waktu diibaratkan garis, maka ajal adalah ujung garis itu sendiri. Ajal adalah titik terakhir ketika garis itu berakhir. Titik awal garis tersebut adalah kelahiran, atau dalam konsep Al-Qur’an disebut dahr, yakni suatu titik permulaan, starting point, awal gerak waktu, awal mula manusia dan makhluk lainnya menjalani waktunya masing-masing.
                Kedua adalah dahr. Menurut Toto Tasmara dalam bukunya, Kecerdasan Ruhaniah (2001), dahr adalah asal mula waktu.Yakni suatu permulaan waktu ketika manusia belum disebut manusia. Dahr merupakan batas paling awal dari sebuah perencanaan, atau dalam konteks ini adalah penciptaan. Jika ajal menjadi batas akhir, maka dahr adalah batas awal atau starting point ketika manusia akan berjalan dan hidup di dalam kedua batas itu. (2) Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman :
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut ?”(QS. Al-Insaan [76] : 1).
                Ayat tersebut menunjukkan awal permulaan waktu ketika waktu belum dapat disebut. Saat itu, bukan hanya manusia yang belum diciptakan, tetapi juga seluruh makhluk. Setiap manusia yang hidup di dunia pasti memiliki awal. Setiap yang memiliki awal pasti memiliki akhir. Dan, setiap yang memiliki akhir juga pasti memiliki awal. Oleh karena itu, ajal dan dahr seperti dua sisi mata uang yang sama. Terpisah tapi tidak bisah dipisahkan.
                Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa dahr adalah saat berkepanjangan yang dilalui alam raya sejak diciptakan hingga keruntuhannya. Proses panjang tersebut disebut dahr (3). Seperti dalam firman Allah Swt. berikut :
“Dan, mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa.’Dan, mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jaatsiyah [45] : 24).
                Ayat tersebut mengkritik dan menentang pendapat orang jahiliah yang mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan atau kehidupan setelah kematian, karena hanya ada di dunia. Lebih parah, mereka menyangka bahwa dahr adalah penyebab semuanya. Dia (dahr) yang menghidupkan dan mematikan. Tentu pendapat ini ditentang oleh Al-Qur’an.
                Ketiga adalah Waqt. Menurut Quraish Shihab, waqt berartibatas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Oleh Karena itu Al-Qur’an sering kali menggunakannya dalam konteks kadar tertentu dari satu masa. Allah berfirman :
“Maka, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).Sesungguhnya, shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa’ [4] : 103).
                Berdasarkan ayat tersebut, kata “waqt” lebih dekat pengertiannya dengan periode atau ketika waktu digunakan.Waqt jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti waktu atau saat. Dan, konsep Waqtinilah yang paling banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari, karena maknanya adalah waktu, yakni waktu untuk melaksanakan sesuatu. Dalam hal ini, waktu mengharuskan manusia untuk mengisinya, karena waktu yang diisi berarti waktu yang bermakna. Membuang-buang waktu berarti tidak mengisi waktu dengan apa pun atau mengisinya, namun dengan hal yang tidak semestinya, sehingga waktu hilang dengan percuma. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa orang yang panjang umur bukan orang yang lama hidupnya, lama waqt-nya di dunia, panjang jarak antara dahr dan ajalnya, melainkan orang yang mengisi waktu dengan hal-hal yang berguna dan bermanfaat, meskipun umurnya tidak lama.
                Jika ajal adalah akhir waktu manusia, dan dahr adalah awalnya, maka Waqtialah durasi antara dahr dan ajal.Bila ajal merupakan berakhirnya kesempatan, dan dahr menjadi awal atau permulaan dari kesempatan itu, maka waqt adalah saatnya mengambil kesempatan tersebut. Kita bisa bekerja karena ada waqt, bukan karena ada dahr atau ajal. Maka, inilah waktu yang harus benar-benar menjadi perhatian kita, karena Allah Swt. menuntut kita untuk mempergunakannya. Rasulullah Saw. juga mengkritik umatnya yang tidak paham dan mengerti apa yang harus dilakukan antara dahr dan ajal. Rasulullah Saw. bersabda :
“Ada dua kenikmatan yang membuat banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang.”(HR. Bukhari).
                Hadits tersebut merujuk kepada Waqt, yakni kesempatan luas, waktu kosong, atau waktu luang ketika kita masih bisa menggunakannya untuk berbagai macam hal. Waktu kosong merupakan nikmat yang besar dari Allah Swt, tetapi kerap dilalaikan dan diabaikan keberadaannya oleh manusia.
                Keempat adalah ‘Ashr, yang dalam bahasa Arab adalah perasan. Tetapi, kata ini bisa diartikan waktu menjelang terbenamnya matahari.Bisa juga diartikan dengan masa secara mutlak. Makna tersebut diambil berdasarkan asumsi bahwa ‘ashr merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Karena kata ‘ashrbermakna “perasan”, maka diasumsikan setiap waktu yang ada harus digunakan untuk memeras keringat dan pikiran demi kebaikan di dunia dan akhirat. Jika tidak, maka manusia akan rugi. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman :
“Demi masa.Sesungguhnya, manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”(QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3).
                Dalam ayat tersebut, kata “‘ashr” selain mengandung arti masa juga menyimpan makna lain di baliknya, yakni etos kerja. Manusia tidak cukup hanya mengisi waktu, tetapi juga perlu meningkatkan aktivitasnya dengan etos kerja yang tinggi, memeras keringat, membanting tulang, memeras pikiran, sehingga keluarlah saripati kehidupan membuat hidup lebih berarti dan lebih baik. Dengan demikian, lengkaplah dimensi waktu dalam Al-Qur’an, yang satu dengan yang lain saling terjalin membentuk sinergi yang harmonis. Satu bagian menjadi permulaan bagi bagian yang lain. Satu bagian lagi menjadi penanda bagi bagian yang lain.
                Itulah konsep dan pemahaman waktu dalam Al-Qur’an. Waktu bukan sekadar kesempatan atau durasi, tetapi juga memiliki sejumlah konsekuensi bagi pemiliknya. Siapa pun yang memiliki waktu akan dimintai tanggung jawab untuk apa waktunya digunakan. Mereka yang menghargai waktu termasuk orang-orang mukmin yang shalih, sedangkan mereka yang tidak menghargai waktu termasuk mukmin yang tidak shalih.Oleh karena itu, waktu diberikan oleh Allah Swt. kepada hamba-Nya sebagai nikmat yang harus disyukuri dan dihargai. Rasulullah Saw. adalah orang yang sangat menghargai waktu dan hati-hati dalam menggunakan waktu. Bahkan, beliau berpesan berkali-kali kepada umatnya untuk menghargai waktu.
                Nah, sekarang sudah lebih mengerti kan tentang konsep waktu menurut Islam, selanjutnya bagaimana penghargaan Rasulullah Saw sebagai panutan kita, terhadap waktu, dan bagaimana pula mengatur waktu yang baik ala beliau?. Untuk lebih jelasnya akan saya bahas di artikel selanjutnya. Buat yang penasaran, ditunggu ya, and tetep stay tune terus ya
……hoho…..In shaa Allah dalam proses. Untuk kritik, saran atau ada yang mau berbagai silahkan corat-coret di kolom comment di bawah artikel ini. Terima kasih banyak. Semoga bermanfaat ^_^

Sumber :
(1) Dr. Quraish Shihab, 1996. Wawasan Al-Qur’an ; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, hlm. 546. Bandung : Mizan.
(2) Toto Tasmara, 2001. Kecerdasan Ruhaniah; Membentuk Kepribadian yang Bertanggung jawab, Profesional dan Berakhlak, hlm. 154-159. Jakarta : Gema Insani Press.
(3) Dr. Quraish Shihab, 1996. Wawasan Al-Qur’an ; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, hlm. 547. Bandung : Mizan.
M. Sanusi. 2014. Meneladani Jam-jam Nabi Saw. dalam Beribadah dan Bekerja.Jogyakarta : Najah.