My pLayLisT

Selasa, 09 Agustus 2016

Between You and Me



              
Aku duduk termenung sendiri. Di atas hamparan pasir yg putih nan lembut. Berteman suara ombak memecah karang, juga semburat senja yang mulai memudar. Aku mengingatmu, mengingat tentang kita. Seperti yang selalu kulakukan selama 3 tahun belakangan ini saat senja datang, dan kebetulan aku sedang menikmatinya bersama kesendirian. Dan aku kembali mengingatmu, semua tentangmu, setiap detilnya. Bagaikan kumengenal setiap hembusan nafas yang kuhembuskan tanpa bisa kutahan. Walau berulang kali kuberusaha untuk menghentikannya, agar aku bisa bersamamu, atau setidaknya kuberharap sebuah Amnesia datang dan menghapus semua tentangmu, Tapi berapa kali pun aku mencoba hal-hal berbahaya itu, pada akhirnya hanya menyisakan kesepian yang semakin menghujam jantungku. Tak lebih dari itu. Setiap kali aku mengingat kematian.
            Kematian. Apa yang terbersit dalam pikiran orang-orang saat mendengar kata itu ?. Ketakutan, kesedihan, amarah, keputusasaan, ataukah kesepian. Bagiku, kematian berarti kerinduan. Kerinduan yang panjang akan sebuah penantian tak berujung. Sebuah kerinduan yang sia-sia karena aku sebenarnya sadar bahwa sebesar apapun aku merindu, tak akan mampu membawa orang yang kau rindu itu kembali ke dunia ini. Kerinduan yang akan menjelma menjadi sebuah ilusi akan hadirmu, sebuah kerinduan yang bersekutu dengan kenangan untuk menciptakan dirimu dalam wujud yang nyata. Senyata saat aku mampu melihat wajah teduhmu di tengah-tengah air laut yang mulai surut, , senyummu, bahkan kini aku mampu mengingat kembali aroma parfummu saat kita bertemu dulu. Begitu nyata. Dan shit ! aku pasti sudah mulai gila saat kumampu kembali mendengar suaramu yang memanggilku “Rhea….Rhea!”.
            Entah sudah berapa lama aku mencari arti dari sebuah kematian. Dan walau hari-hariku bergelut dengan kehidupan dan kematian secara bergantian, selama 3 tahun aku belum menemukan jawabannya. Sebuah kematian bukannya selalu sama. Membawa kesedihan bagaimanapun caranya. Walau aku berusaha merangkai kata-kata manis seindah mungkin untuk mengantarkan berita duka bagi seorang ayah yang anaknya meninggal sesaat setelah dilahirkan. Itu tak merubah apapun. Saat jenazah bayi mungil kuserahkan kepada sang ayah untuk melihat buah hatinya itu yang selama ini dirindukannya, tuk yang pertama dan terakhir kali. Aku hanya bisa diam terpaku saat lantunan adzan berkumandang di tengah suara isak tangis, sedu sedan yang tertahan, menyelimuti ketegaran seorang laki-laki yang rapuh. Serapuh manusia pada umumnya. Dan bagaimana setelah itu dia harus berusaha tersenyum menenangkan saat dia bertemu dengan istrinya yang masih lemah menahan sakit dan kesedihan sekaligus. Bagaimana kedua insan ini saling menguatkan, bahkan untuk kematian seorang bayi yang belum memiliki nama sekalipun, bukankah kematian itu tetap berat. Dan betapa dunia ini tak adil bagiku, karena setidaknya mereka saling memiliki untuk saling menguatkan. Sedang aku hanya mampu terdiam menyendiri. Ataukah saat kulihat sepasang suami-istri yang berusia lanjut tersenyum saling membahagiakan, bercengkrama bersama walau sang istri tahu bahwa waktunya hanya tinggal menghitung hari dan kisah ini kelak hanya akan menjadi kenangan indah ataukah sendu bagi sang suami yang akan ditinggalkan karena penyakit yang diderita kekasih hatinya itu. Sang suami yang terus berusaha memberikan kekuatan bagi istrinya, walau dalam kesendiriannya dalam sujud yang panjang dia hanya bisa menangis sepuas-puasnya di atas sajadah yang membisu. Tanpa sedikitpun diketahui oleh belahan jiwanya itu. Kematian, betapapun ia dipersiapkan bukankah ia tetap berat. Tapi masih tak adil bagiku, karena setidaknya mereka memiliki waktu untuk bersama walau tak ada kata cukup untuk itu. Sedang aku hanya harus pasrah menerima berita kematianmu yang begitu tiba-tiba sampai aku tak mampu melakukan apa-apa.
            Kau kembali memandangku penuh cinta, walau aku selalu menyeretmu kembali ke dunia yang sepi ini. Bukankah aku wanita egois yang kejam ?. Wanita gila yang tak peduli lagi tentang apa kata orang, bahkan berjuta teori tentang kehilangan, melepas dan menerima. Karena pada kenyataannya ini begitu sulit, Gil. Hidup tanpamu. Dan seketika aku mengutuk semua puisi tentang cinta, atau film-film romansa yang berisi saat tokoh utama laki-laki berkata kepada kekasihnya, “Aku rela mati untukmu.” Betapa bodoh dan egoisnya. Tidakkah sang penulisnya tahu, apa yang akan terjadi pada sang tokoh utama wanita jika lelakinya sudah tak ada di dunia ini. Lalu siapakah yang kemudian akan mencintainya, menjaganya. Meninggalkannya dalam kesendirian, keputusasaan, rasa bersalah sepanjang hidupnya. Tidak tahukah si pembuat skenario bodoh itu bahwa tidak dibutuhkan keberanian untuk mati, tapi ia dibutuhkan untuk tetap hidup. Bahwa apapun yang terjadinya seharusnya lelaki itu harus terus berjuang untuk tetap hidup, untuk tetap mencintai, tetap menjaga dan selalu berada di samping wanitanya. Dan kata-kata itu berubah menjadi “Aku siap hidup untukmu.”
            Gerimis datang tanpa diundang saat tanganku mengukir namamu di atas pasir yang fana ini. Nama kita. Rhea-Gildan. Berharap kau selalu hadir di setiap pantai yang aku kunjungi. Karena aku tahu kau sangat suka pantai, berbeda denganku yang lebih senang memandang matahari terbit diatas pegunungan. Karena kau berkata itu melelahkan. Tapi berapa kalipun aku melakukan ritual ini, tak mampu jua membawamu kembali hadir di sampingku untuk melihat senja di pantai seperti dulu. Kau tahu Gil, aku menikmatinya. Benar-benar menikmati kebersamaan kita ini, sampai tiba-tiba ingatan akan sebuah kalimat datang menamparku. Sebuah kalimat yg terlontar dari seorang laki-laki yang berusaha menembus batasku, batas kita berdua. “Berhentilah menganggap dirimu menjadi orang yang paling kehilangan atas kematian seseorang. Karena sesungguhnya kau bersedih bukan karena itu, tapi karena kau kehilangan sebagian jiwamu bersamanya.” Pria brengsek yang benar-benar sangat kubenci saat dia mengatakan itu padaku. Shit ! Kenapa aku membahasnya saat aku sedang mengenangmu. Di waktu-waktu yang sering kusebut sebagai “Our Time”. Tapi kau tahu Gil, yang berbeda darinya dibandingkan laki-laki lain yang berusaha menggantikan posisimu adalah dia tak pernah memintaku untuk melupakanmu. Dia malah berkata, “Saat kau mengenangnya, jika itu membuat seluruh jiwamu kembali utuh, maka mengapa kau harus berusaha melupakan dan menghapusnya, jika itu malah membuatmu kehilangan sebagian dari dirimu?”. Aku tak mengerti Gil, aku benar-benar tak mengerti dirinya. Seluruh upaya sudah kulakukan untuk membuatnya menjauh, membenciku, tapi semakin kuat ku mencoba dia hanya akan terus datang, dan datang lagi. “Kau tak pernah kehilangan siapapun, kau hanya kehilangan keberanian untuk kembali mencintai .” bisiknya saat aku pernah terpaksa menampar wajahnya saat dia berbicara tentangmu, Gil. Tentang kita.
            “Keberanian untuk kembali mencintai”. Apakah memang dibutuhkan keberanian untuk sekedar mencintai, Gil ?. Pertanyaan itu kembali kuulang-ulang, walau kutahu kau tak akan pernah menjawabnya. Langit semakin deras menumpahkan keberkahannya ke bumi. Menghapus perlahan nama kita yang telah susah payah kuukir. Aku menyerah. Hanya bisa memejamkan mata sesaat sebelum meninggalkan tempat ini. Dan saat itu, dalam sekejap, suara deburan ombak, desiran angin, dan rintik hujan bersekongkol menciptakan sebuah harmoni. Harmoni yang melantunkan sebuah kata manis yang memiliki resonansi mirip dengan suaramu. “Just be brave, Rhea…..”. Saat terkejut dan membuka mata, aku berusaha mencari sumber suara itu, tetapi yang kutemukan hanya sebuah perasaan hangat yang menyelusup perlahan ke dalam hatiku. Bersamaan dengan kehangatan yang mengalir di kedua pipiku. Dan senja pun terbenam menyisakan gelap yang begitu sepi. Meninggalkan aku sendiri.