Kematian. Apa yang terbersit dalam
pikiran orang-orang saat mendengar kata itu ?. Ketakutan, kesedihan, amarah,
keputusasaan, ataukah kesepian. Bagiku, kematian berarti kerinduan. Kerinduan
yang panjang akan sebuah penantian tak berujung. Sebuah kerinduan yang sia-sia
karena aku sebenarnya sadar bahwa sebesar apapun aku merindu, tak akan mampu
membawa orang yang kau rindu itu kembali ke dunia ini. Kerinduan yang akan
menjelma menjadi sebuah ilusi akan hadirmu, sebuah kerinduan yang bersekutu dengan
kenangan untuk menciptakan dirimu dalam wujud yang nyata. Senyata saat aku
mampu melihat wajah teduhmu di tengah-tengah air laut yang mulai surut, ,
senyummu, bahkan kini aku mampu mengingat kembali aroma parfummu saat kita
bertemu dulu. Begitu nyata. Dan shit !
aku pasti sudah mulai gila saat kumampu kembali mendengar suaramu yang
memanggilku “Rhea….Rhea!”.
Entah sudah berapa lama aku mencari
arti dari sebuah kematian. Dan walau hari-hariku bergelut dengan kehidupan dan
kematian secara bergantian, selama 3 tahun aku belum menemukan jawabannya.
Sebuah kematian bukannya selalu sama. Membawa kesedihan bagaimanapun caranya.
Walau aku berusaha merangkai kata-kata manis seindah mungkin untuk mengantarkan
berita duka bagi seorang ayah yang anaknya meninggal sesaat setelah dilahirkan.
Itu tak merubah apapun. Saat jenazah bayi mungil kuserahkan kepada sang ayah
untuk melihat buah hatinya itu yang selama ini dirindukannya, tuk yang pertama
dan terakhir kali. Aku hanya bisa diam terpaku saat lantunan adzan berkumandang
di tengah suara isak tangis, sedu sedan yang tertahan, menyelimuti ketegaran
seorang laki-laki yang rapuh. Serapuh manusia pada umumnya. Dan bagaimana
setelah itu dia harus berusaha tersenyum menenangkan saat dia bertemu dengan
istrinya yang masih lemah menahan sakit dan kesedihan sekaligus. Bagaimana
kedua insan ini saling menguatkan, bahkan untuk kematian seorang bayi yang
belum memiliki nama sekalipun, bukankah kematian itu tetap berat. Dan betapa
dunia ini tak adil bagiku, karena setidaknya mereka saling memiliki untuk
saling menguatkan. Sedang aku hanya mampu terdiam menyendiri. Ataukah saat
kulihat sepasang suami-istri yang berusia lanjut tersenyum saling
membahagiakan, bercengkrama bersama walau sang istri tahu bahwa waktunya hanya
tinggal menghitung hari dan kisah ini kelak hanya akan menjadi kenangan indah
ataukah sendu bagi sang suami yang akan ditinggalkan karena penyakit yang
diderita kekasih hatinya itu. Sang suami yang terus berusaha memberikan
kekuatan bagi istrinya, walau dalam kesendiriannya dalam sujud yang panjang dia
hanya bisa menangis sepuas-puasnya di atas sajadah yang membisu. Tanpa
sedikitpun diketahui oleh belahan jiwanya itu. Kematian, betapapun ia
dipersiapkan bukankah ia tetap berat. Tapi masih tak adil bagiku, karena
setidaknya mereka memiliki waktu untuk bersama walau tak ada kata cukup untuk
itu. Sedang aku hanya harus pasrah menerima berita kematianmu yang begitu tiba-tiba
sampai aku tak mampu melakukan apa-apa.
Kau kembali memandangku penuh cinta,
walau aku selalu menyeretmu kembali ke dunia yang sepi ini. Bukankah aku wanita
egois yang kejam ?. Wanita gila yang tak peduli lagi tentang apa kata orang,
bahkan berjuta teori tentang kehilangan, melepas dan menerima. Karena pada
kenyataannya ini begitu sulit, Gil. Hidup tanpamu. Dan seketika aku mengutuk
semua puisi tentang cinta, atau film-film romansa yang berisi saat tokoh utama
laki-laki berkata kepada kekasihnya, “Aku rela mati untukmu.” Betapa bodoh dan
egoisnya. Tidakkah sang penulisnya tahu, apa yang akan terjadi pada sang tokoh
utama wanita jika lelakinya sudah tak ada di dunia ini. Lalu siapakah yang
kemudian akan mencintainya, menjaganya. Meninggalkannya dalam kesendirian,
keputusasaan, rasa bersalah sepanjang hidupnya. Tidak tahukah si pembuat skenario
bodoh itu bahwa tidak dibutuhkan keberanian untuk mati, tapi ia dibutuhkan
untuk tetap hidup. Bahwa apapun yang terjadinya seharusnya lelaki itu harus
terus berjuang untuk tetap hidup, untuk tetap mencintai, tetap menjaga dan
selalu berada di samping wanitanya. Dan kata-kata itu berubah menjadi “Aku siap
hidup untukmu.”
Gerimis datang tanpa diundang saat
tanganku mengukir namamu di atas pasir yang fana ini. Nama kita. Rhea-Gildan.
Berharap kau selalu hadir di setiap pantai yang aku kunjungi. Karena aku tahu
kau sangat suka pantai, berbeda denganku yang lebih senang memandang matahari
terbit diatas pegunungan. Karena kau berkata itu melelahkan. Tapi berapa
kalipun aku melakukan ritual ini, tak mampu jua membawamu kembali hadir di
sampingku untuk melihat senja di pantai seperti dulu. Kau tahu Gil, aku
menikmatinya. Benar-benar menikmati kebersamaan kita ini, sampai tiba-tiba ingatan
akan sebuah kalimat datang menamparku. Sebuah kalimat yg terlontar dari seorang
laki-laki yang berusaha menembus batasku, batas kita berdua. “Berhentilah
menganggap dirimu menjadi orang yang paling kehilangan atas kematian seseorang.
Karena sesungguhnya kau bersedih bukan karena itu, tapi karena kau kehilangan
sebagian jiwamu bersamanya.” Pria brengsek yang benar-benar sangat kubenci saat
dia mengatakan itu padaku. Shit !
Kenapa aku membahasnya saat aku sedang mengenangmu. Di waktu-waktu yang sering
kusebut sebagai “Our Time”. Tapi kau
tahu Gil, yang berbeda darinya dibandingkan laki-laki lain yang berusaha
menggantikan posisimu adalah dia tak pernah memintaku untuk melupakanmu. Dia
malah berkata, “Saat kau mengenangnya, jika itu membuat seluruh jiwamu kembali
utuh, maka mengapa kau harus berusaha melupakan dan menghapusnya, jika itu
malah membuatmu kehilangan sebagian dari dirimu?”. Aku tak mengerti Gil, aku
benar-benar tak mengerti dirinya. Seluruh upaya sudah kulakukan untuk
membuatnya menjauh, membenciku, tapi semakin kuat ku mencoba dia hanya akan
terus datang, dan datang lagi. “Kau tak pernah kehilangan siapapun, kau hanya
kehilangan keberanian untuk kembali mencintai .” bisiknya saat aku pernah
terpaksa menampar wajahnya saat dia berbicara tentangmu, Gil. Tentang kita.
“Keberanian untuk kembali mencintai”.
Apakah memang dibutuhkan keberanian untuk sekedar mencintai, Gil ?. Pertanyaan
itu kembali kuulang-ulang, walau kutahu kau tak akan pernah menjawabnya. Langit
semakin deras menumpahkan keberkahannya ke bumi. Menghapus perlahan nama kita
yang telah susah payah kuukir. Aku menyerah. Hanya bisa memejamkan mata sesaat
sebelum meninggalkan tempat ini. Dan saat itu, dalam sekejap, suara deburan
ombak, desiran angin, dan rintik hujan bersekongkol menciptakan sebuah harmoni.
Harmoni yang melantunkan sebuah kata manis yang memiliki resonansi mirip dengan
suaramu. “Just be brave, Rhea…..”.
Saat terkejut dan membuka mata, aku berusaha mencari sumber suara itu, tetapi yang
kutemukan hanya sebuah perasaan hangat yang menyelusup perlahan ke dalam
hatiku. Bersamaan dengan kehangatan yang mengalir di kedua pipiku. Dan senja
pun terbenam menyisakan gelap yang begitu sepi. Meninggalkan aku sendiri.