Aku meneteskan beberapa obat tetes mata yang diresepkan
oleh dokter pasca operasi mata babeh kemarin secara hati-hati. “sudah semua,
ta?” tanya babeh. “sudah, beh”, jawabku sambil menutup kembali mata babeh dengan
benda berbentuk mangkuk yang terbuat dari kaca dengan plester. Fungsi benda ini
adalah untuk menjaga sementara mata babeh yang baru selesai dioperasi dari
gangguan atau bersinggungan langsung dengan mata serta meminimalisir
kemungkinan adanya debu yang masuk ke mata babeh. Kurapikan obat-obatan serta
peralatan lainnya ketika babeh berkata “hehehe…..ternyata jadi lansia itu repot
ya, badan kita umurnya cuma bisa sekitar 63 tahun standarnya kalo mengikuti
Rasulullah, tapi kalo Allah ngasih bonus panjang umur ya mesti sabar-sabar juga
punya badan yang udah mulai nggak bisa mengikuti keinginan jiwa. Mulai eror
sana sini. Raga itu fana, sedang jiwa kita kekal sampe dipanggil ketemu sama
yang bikin nanti.” Seketika kutinggalkan aktifitasku sejenak lalu duduk sambil
memandangi babeh, lelaki yang baru kuketahui akhir-akhir ini ternyata punya
sifat manja juga. Kupandangi wajah beliau yang entah karena sudah makin menua
atau karena menahan sakit menjadi makin terlihat lelah dari waktu ke waktu,
tapi senyum jenakanya kadang masih melekat sehingga terkadang wajahnya kembali
terlihat kuat dan muda. Menjadi lansia yang sudah melewati usia Rasulullah
seperti babeh memanglah tidak mudah, terlebih dengan rutinitas harus terus
mengkonsumsi insulin demi menahan gejolak penyakit Diabetesnya serta telah
merasakan entah untuk keberapa kali kehilangan rekan-rekan seperjuangan beliau
yang sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini, telah membuatnya tak lagi
memiliki teman bertukar pikiran dan hobi lama yang telah usang. Mungkin terasa
sepi, pikirku. Kehilangan teman-teman sepermainan. Aku jadi teringat ketika
beberapa kali aku bersama teman-teman bidan membuat acara posyandu lansia
semasa kuliah dulu. Walau kami bukan dokter yang bisa mengobati, setidaknya
kami berusaha mengetahui kondisi kesehatan dasar para lansia itu serta membuat
acara yang harapannya bisa sedikit menghibur para lansia dengan berkumpul dan
saling berinteraksi bersama-sama itu. Saat itu,kami ingin lansia yang kami
temui bisa sehat, mandiri serta bahagia. Ya, bahagia adalah kunci kesehatan
lansia, dimana tubuh mulai terbatasi kemampuannya, hanya dengan berpikir
positif serta bahagialah sumber kekuatan mereka untuk dapat beraktifitas
sehari-hari secara baik dan mandiri. Hanya saja terkadang kita sebagai
pendamping atau orang yang hidup bersama mereka tidak tahu bagaimana cara
terbaik memperlakukan mereka. Masih banyak orang yang menganggap mengurus
lansia adalah hal yang merepotkan, memperlakukan mereka layaknya bayi yang tak
tahu apa-apa, padahal di sisi lain malah memberikan tekanan emosional atau
beban hidup lainnya secara langsung atau tidak kepada mereka. Dampaknya malah
membuat lansia-lansia itu merasa dirinya menjadi beban, tak berani melakukan
aktifitas yang mereka inginkan karena keterbatasan yang sejatinya malah
terbentuk karena banyaknya dibatasi oleh lingkungan sekitarnya yang akhirnya
membuat tubuh mereka perlahan-lahan menjadi rapuh. Aku pun menyadari hal ini
saat berinteraksi dan mengobservasi orang tuaku sendiri. Bahwa seharusnya cara
memperlakukan mereka tak berbeda dengan saat mereka masih segar bugar dahulu,
menghormati, membiarkan mereka menentukan pilihan-pilihan mereka dan kegiatan
apa yang mereka ingin jalani. Bukan membatasi, hanya mendampingi jikalau
sekiranya mulai membahayakan atau tidak sesuai dengan kondisi kesehatan mereka.
Seperti babeh yang suka rewel kalo aku sudah mulai memberikan tanda peringatan
pada menu diet yang sudah melewati batasan konsumsi penderita diabetes, walau
kami harus beradu argumen beberapa kali, mencari alternatif solusi lain serta
berakhir dengan menentukan kesepakatan-kesepakatan (yang walau akhirnya babeh
akan melanggar, dan kita harus mengulang siklus itu kembali dari awal, kembali beradu argumen),
setidaknya kita melibatkan lansia itu tanpa harus secara terang-terangan
memaksakan kehendak kita tanpa mengindahkan pendapat/keinginan mereka. Di
sinilah mereka merasa dihargai dan diakui keberadaannya sebagai pribadi secara
utuh (ingat kebutuhan dasar setiap manusia adalah dihargai dan diakui).
“Kok
malah bengong, tadi katanya mau pergi?” tegur babeh demi melihatku yang malah
duduk terdiam di sampingnya, sambil menyeruput teh hangat dari cangkir di
depannya, babeh balas menatapku. “Nggak jadi ah, udah kesorean bentar lagi
maghrib” jawabku sekenanya. Entah mengapa aku jadi malas untuk beranjak dan
memilih menemani babeh duduk-duduk di teras rumah sambil memandangi tingkah
polah burung-burung peliharaan babeh serta anak-anak tetangga yang masih asyik
bermain di depan pintu gerbang rumah kami. Babeh, cowok cool disampingku ini memang terkenal tegas dan kaku, tapi
sebenarnya mudah bergaul dengan orang lain. Mungkin karena dulu babeh bekerja sebagai
abdi Negara yang kerjanya melayani masyarakat. Babeh selalu berkata bahwa
pekerjaan yang paling menyenangkan adalah pekerjaan melayani masyarakat.
Makanya dulu babeh sangat senang saat mendengar aku lulus ujian masuk akademi
kebidanan-yang kelak pekerjaannya sebagai bidan-tentu akan membantu orang
banyak, yang sebenarnya pada awalnya malah bagaikan sebuah petaka besar bagiku dimana
aku akan memasuki pintu gerbang nerakanya dunia (ok ini cuma perspektifku jaman
jahiliyah dulu lho….hehe). Sejak kecil babeh mendidik anak-anaknya dengan
sangat keras dan ketat untuk urusan pendidikan, khususnya pendidikan agama,
karena babeh merasa kehidupan di perantauan khususnya Jakarta sangatlah keras
dan penuh godaan. Terbukti saat aku SD ada teman sekelasku yang sudah hamil di
luar nikah, tak jarang setelah lulus SD teman-temanku pun banyak yang putus
sekolah, saat SMP kehidupan anak-anak borjuis mengelilingiku (karena aku sekolah
di salah satu SMP favorit di wilayah tempat tinggalku, Jakarta barat), dan saat
SMA, madol (bolos) bwt ngemall bareng, clubbing, balapan, ngerokok jadi
kegiatan beberapa siswa di luar sekolah (padahal sekolahku ini juga termasuk
sekolah negeri unggulan, lho). Dari aku bisa baca A-B-C dan masuk TK, babeh pun
memasukkanku ke TPA untuk belajar mengaji, jadi dari TK sampe besar aku punya 2
sekolah yaitu menjadi murid di sekolah formal pemerintah sekaligus menjadi
santri tidak tetap di pesantren dekat rumah (walaupun pindah-pindah karena
jadwal sekolah yang berubah-ubah). Selain itu saat SMP dan SMA aku boleh ikut
kegiatan ekstrakulikuler lain hanya jika aku juga tergabung dalam ekskul ROHIS
sekolah. Alhasil dari SMP aku sudah terbiasa memegang dan aktif dalam 2
organisasi sekaligus. SMP dengan ROHIS-PMR, SMA berjibaku dengan ROHIS-KEMPO
lalu jaman kuliah D3 Keputrian-senat mahasiswa. Jadi nggak usah heran klo pas kuliah
profesi S1 Bidan aku dianggap rekan-rekan sebagai anak hiperaktif yang masih
sempet-sempetnya nengokin 2 organisasi yang aku ikuti walau jadwal jaga klinik-ujian-serta
nyusun laporan susul-menyusul tiada henti. Udah biasa aja, soalnya dari remaja
unyu-unyu kenal organisasi kerjaannya dari pagi sekolah plus kegiatan ekskul
pulang sekitar jam 5 sore, lalu selepas maghrib harus nyantri sampai sekitar pukul 8
malam, selesai itu jangan harap bisa langsung istirahat, karena tugas sekolah
telah menanti untuk dikerjakan. Tapi berkat didikan itu akupun bisa
terselamatkan dari pergaulan bebas yang nggak jelas juntrungannya,” karena
hidup aku sendiri aja udah ngos-ngosan….wkwkwkwk”. Babeh bilang alasan lain beliau bersikap begitu
karena dulu semasa remajanya di desa, beliau sulit untuk menemukan tempat atau
waktu untuk tambahan belajar agama, “maklum selepas sekolah harus membantu
orangtua di sawah” begitu kata babeh.
Babeh
bukan orang tua yang senang memberikan petuah bijak, tapi bliau mengajarkan
nilai-nilai kehidupan langsung dengan praktik sehari-hari. Seperti contohnya
sejak kecil setiap minggu pagi babeh selalu mengajak aku berbelanja ke pasar
tradisional. Padahal bagi anak super sibuk kayak aku (eaaa……) hari minggu pagi
hanyalah satu-satunya waktu untuk sedikit “bermalas-malasan” dengan bangun
siang atau menonton film kartun pagi. Tapi apalah daya, dengan mata setengah
tertutup serta badan yang masih melayang aku menemani babeh pergi ke pasar
dengan mengendarai vespa kesayangannya. Di pasar babeh tak pernah menawar harga
pada penjual khususnya jika penjualnya sudah tua. Babeh bilang itu salah satu
cara kita menghargai jerih payah orang-orang di pasar yang sudah sejak dini
hari bekerja keras mengais rejeki. Sepanjang perjalanan di pasar pun kadang
babeh mampir untuk membeli barang-barang atau jajanan yang sebenarnya tidak ada
pada list belanjaan yang ibu buat, semata-mata karena penjualnya nenek-nenek
atau kakek-kakek sepuh, yang biasanya berujung di rumah babeh kena omel ibu.
Tapi babeh selalu tersenyum kepadaku yang menanyakan alasannya mau saja kena
marah ibu setiap pulang dari pasar karena perbuatannya itu, babeh cuma bilang
anggap aja amal mingguan, lalu setelah dimarahi ibu babeh pun pergi keluar
untuk membagikan barang atau jajanan tadi pada tetangga yang membutuhkan. babeh
memang bukan ustadz yang berbicara tentang dalil-dalil, tapi bagiku, kadang
perilaku-perilaku uniknya lebih mengena menjadi sebuah pelajaran hidup yang
terpatri kuat dalam ingatanku melebihi puluhan dalil-dalil yang diucapkan
ustadz-ustadzku (mungkin karena aku belajar dengan sisa-sisa tenaga di penghujung hari kali
ya…..wkwkwk). Babeh mengajarkan untuk tidak pernah lupa pada orang-orang kecil yang mungkin secara ekonomi belum lebih beruntung daripada kita. Karena mungkin saja doa-doa ataupun sekedar ucapan terima kasih yang secara tak sengaja atau pun disengaja mereka ucapkan untuk kita diijabah oleh Allah. Bukankah doa kaum dhuafa mampu langsung menembus langit dan langsung didengar oleh Allah?. Bisa jadi doa-doa itu yang menolong kita kelak.
“Allahu
Akbar…..Allahu Akbar…” adzan magrib telah berkumandang, senja pun mulai masuk
ke peraduan, tak terasa pikiranku melayang entah kemana. Dalam diam kami
bercengkrama, bernostalgia dengan waktu bersama-sama. Entah sampai kapan aku
bisa melihat senja bersama babeh, seiring kedewasaan dan waktu yang melesat
dengan cepat, suatu saat aku pun akan merindukan masa-masa ini. Tapi bagiku
kini, bisa bersama babeh menikmati senja merupakan kenikmatan yang tak akan
pernah tergantikan. Semoga babeh sehat selalu, I love you babeh ^_^