My pLayLisT

Minggu, 23 April 2017

Senja bersama Babeh



       Aku meneteskan beberapa obat tetes mata yang diresepkan oleh dokter pasca operasi mata babeh kemarin secara hati-hati. “sudah semua, ta?” tanya babeh. “sudah, beh”, jawabku sambil menutup kembali mata babeh dengan benda berbentuk mangkuk yang terbuat dari kaca dengan plester. Fungsi benda ini adalah untuk menjaga sementara mata babeh yang baru selesai dioperasi dari gangguan atau bersinggungan langsung dengan mata serta meminimalisir kemungkinan adanya debu yang masuk ke mata babeh. Kurapikan obat-obatan serta peralatan lainnya ketika babeh berkata “hehehe…..ternyata jadi lansia itu repot ya, badan kita umurnya cuma bisa sekitar 63 tahun standarnya kalo mengikuti Rasulullah, tapi kalo Allah ngasih bonus panjang umur ya mesti sabar-sabar juga punya badan yang udah mulai nggak bisa mengikuti keinginan jiwa. Mulai eror sana sini. Raga itu fana, sedang jiwa kita kekal sampe dipanggil ketemu sama yang bikin nanti.” Seketika kutinggalkan aktifitasku sejenak lalu duduk sambil memandangi babeh, lelaki yang baru kuketahui akhir-akhir ini ternyata punya sifat manja juga. Kupandangi wajah beliau yang entah karena sudah makin menua atau karena menahan sakit menjadi makin terlihat lelah dari waktu ke waktu, tapi senyum jenakanya kadang masih melekat sehingga terkadang wajahnya kembali terlihat kuat dan muda. Menjadi lansia yang sudah melewati usia Rasulullah seperti babeh memanglah tidak mudah, terlebih dengan rutinitas harus terus mengkonsumsi insulin demi menahan gejolak penyakit Diabetesnya serta telah merasakan entah untuk keberapa kali kehilangan rekan-rekan seperjuangan beliau yang sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini, telah membuatnya tak lagi memiliki teman bertukar pikiran dan hobi lama yang telah usang. Mungkin terasa sepi, pikirku. Kehilangan teman-teman sepermainan. Aku jadi teringat ketika beberapa kali aku bersama teman-teman bidan membuat acara posyandu lansia semasa kuliah dulu. Walau kami bukan dokter yang bisa mengobati, setidaknya kami berusaha mengetahui kondisi kesehatan dasar para lansia itu serta membuat acara yang harapannya bisa sedikit menghibur para lansia dengan berkumpul dan saling berinteraksi bersama-sama itu. Saat itu,kami ingin lansia yang kami temui bisa sehat, mandiri serta bahagia. Ya, bahagia adalah kunci kesehatan lansia, dimana tubuh mulai terbatasi kemampuannya, hanya dengan berpikir positif serta bahagialah sumber kekuatan mereka untuk dapat beraktifitas sehari-hari secara baik dan mandiri. Hanya saja terkadang kita sebagai pendamping atau orang yang hidup bersama mereka tidak tahu bagaimana cara terbaik memperlakukan mereka. Masih banyak orang yang menganggap mengurus lansia adalah hal yang merepotkan, memperlakukan mereka layaknya bayi yang tak tahu apa-apa, padahal di sisi lain malah memberikan tekanan emosional atau beban hidup lainnya secara langsung atau tidak kepada mereka. Dampaknya malah membuat lansia-lansia itu merasa dirinya menjadi beban, tak berani melakukan aktifitas yang mereka inginkan karena keterbatasan yang sejatinya malah terbentuk karena banyaknya dibatasi oleh lingkungan sekitarnya yang akhirnya membuat tubuh mereka perlahan-lahan menjadi rapuh. Aku pun menyadari hal ini saat berinteraksi dan mengobservasi orang tuaku sendiri. Bahwa seharusnya cara memperlakukan mereka tak berbeda dengan saat mereka masih segar bugar dahulu, menghormati, membiarkan mereka menentukan pilihan-pilihan mereka dan kegiatan apa yang mereka ingin jalani. Bukan membatasi, hanya mendampingi jikalau sekiranya mulai membahayakan atau tidak sesuai dengan kondisi kesehatan mereka. Seperti babeh yang suka rewel kalo aku sudah mulai memberikan tanda peringatan pada menu diet yang sudah melewati batasan konsumsi penderita diabetes, walau kami harus beradu argumen beberapa kali, mencari alternatif solusi lain serta berakhir dengan menentukan kesepakatan-kesepakatan (yang walau akhirnya babeh akan melanggar, dan kita harus mengulang siklus itu kembali dari awal, kembali beradu argumen), setidaknya kita melibatkan lansia itu tanpa harus secara terang-terangan memaksakan kehendak kita tanpa mengindahkan pendapat/keinginan mereka. Di sinilah mereka merasa dihargai dan diakui keberadaannya sebagai pribadi secara utuh (ingat kebutuhan dasar setiap manusia adalah dihargai dan diakui).
                “Kok malah bengong, tadi katanya mau pergi?” tegur babeh demi melihatku yang malah duduk terdiam di sampingnya, sambil menyeruput teh hangat dari cangkir di depannya, babeh balas menatapku. “Nggak jadi ah, udah kesorean bentar lagi maghrib” jawabku sekenanya. Entah mengapa aku jadi malas untuk beranjak dan memilih menemani babeh duduk-duduk di teras rumah sambil memandangi tingkah polah burung-burung peliharaan babeh serta anak-anak tetangga yang masih asyik bermain di depan pintu gerbang rumah kami. Babeh, cowok cool disampingku ini memang terkenal tegas dan kaku, tapi sebenarnya mudah bergaul dengan orang lain. Mungkin karena dulu babeh bekerja sebagai abdi Negara yang kerjanya melayani masyarakat. Babeh selalu berkata bahwa pekerjaan yang paling menyenangkan adalah pekerjaan melayani masyarakat. Makanya dulu babeh sangat senang saat mendengar aku lulus ujian masuk akademi kebidanan-yang kelak pekerjaannya sebagai bidan-tentu akan membantu orang banyak, yang sebenarnya pada awalnya malah bagaikan sebuah petaka besar bagiku dimana aku akan memasuki pintu gerbang nerakanya dunia (ok ini cuma perspektifku jaman jahiliyah dulu lho….hehe). Sejak kecil babeh mendidik anak-anaknya dengan sangat keras dan ketat untuk urusan pendidikan, khususnya pendidikan agama, karena babeh merasa kehidupan di perantauan khususnya Jakarta sangatlah keras dan penuh godaan. Terbukti saat aku SD ada teman sekelasku yang sudah hamil di luar nikah, tak jarang setelah lulus SD teman-temanku pun banyak yang putus sekolah, saat SMP kehidupan anak-anak borjuis mengelilingiku (karena aku sekolah di salah satu SMP favorit di wilayah tempat tinggalku, Jakarta barat), dan saat SMA, madol (bolos) bwt ngemall bareng, clubbing, balapan, ngerokok jadi kegiatan beberapa siswa di luar sekolah (padahal sekolahku ini juga termasuk sekolah negeri unggulan, lho). Dari aku bisa baca A-B-C dan masuk TK, babeh pun memasukkanku ke TPA untuk belajar mengaji, jadi dari TK sampe besar aku punya 2 sekolah yaitu menjadi murid di sekolah formal pemerintah sekaligus menjadi santri tidak tetap di pesantren dekat rumah (walaupun pindah-pindah karena jadwal sekolah yang berubah-ubah). Selain itu saat SMP dan SMA aku boleh ikut kegiatan ekstrakulikuler lain hanya jika aku juga tergabung dalam ekskul ROHIS sekolah. Alhasil dari SMP aku sudah terbiasa memegang dan aktif dalam 2 organisasi sekaligus. SMP dengan ROHIS-PMR, SMA berjibaku dengan ROHIS-KEMPO lalu jaman kuliah D3 Keputrian-senat mahasiswa. Jadi nggak usah heran klo pas kuliah profesi S1 Bidan aku dianggap rekan-rekan sebagai anak hiperaktif yang masih sempet-sempetnya nengokin 2 organisasi yang aku ikuti walau jadwal jaga klinik-ujian-serta nyusun laporan susul-menyusul tiada henti. Udah biasa aja, soalnya dari remaja unyu-unyu kenal organisasi kerjaannya dari pagi sekolah plus kegiatan ekskul pulang sekitar jam 5 sore, lalu selepas maghrib harus nyantri sampai sekitar pukul 8 malam, selesai itu jangan harap bisa langsung istirahat, karena tugas sekolah telah menanti untuk dikerjakan. Tapi berkat didikan itu akupun bisa terselamatkan dari pergaulan bebas yang nggak jelas juntrungannya,” karena hidup aku sendiri aja udah ngos-ngosan….wkwkwkwk”. Babeh bilang alasan lain beliau bersikap begitu karena dulu semasa remajanya di desa, beliau sulit untuk menemukan tempat atau waktu untuk tambahan belajar agama, “maklum selepas sekolah harus membantu orangtua di sawah” begitu kata babeh.
                Babeh bukan orang tua yang senang memberikan petuah bijak, tapi bliau mengajarkan nilai-nilai kehidupan langsung dengan praktik sehari-hari. Seperti contohnya sejak kecil setiap minggu pagi babeh selalu mengajak aku berbelanja ke pasar tradisional. Padahal bagi anak super sibuk kayak aku (eaaa……) hari minggu pagi hanyalah satu-satunya waktu untuk sedikit “bermalas-malasan” dengan bangun siang atau menonton film kartun pagi. Tapi apalah daya, dengan mata setengah tertutup serta badan yang masih melayang aku menemani babeh pergi ke pasar dengan mengendarai vespa kesayangannya. Di pasar babeh tak pernah menawar harga pada penjual khususnya jika penjualnya sudah tua. Babeh bilang itu salah satu cara kita menghargai jerih payah orang-orang di pasar yang sudah sejak dini hari bekerja keras mengais rejeki. Sepanjang perjalanan di pasar pun kadang babeh mampir untuk membeli barang-barang atau jajanan yang sebenarnya tidak ada pada list belanjaan yang ibu buat, semata-mata karena penjualnya nenek-nenek atau kakek-kakek sepuh, yang biasanya berujung di rumah babeh kena omel ibu. Tapi babeh selalu tersenyum kepadaku yang menanyakan alasannya mau saja kena marah ibu setiap pulang dari pasar karena perbuatannya itu, babeh cuma bilang anggap aja amal mingguan, lalu setelah dimarahi ibu babeh pun pergi keluar untuk membagikan barang atau jajanan tadi pada tetangga yang membutuhkan. babeh memang bukan ustadz yang berbicara tentang dalil-dalil, tapi bagiku, kadang perilaku-perilaku uniknya lebih mengena menjadi sebuah pelajaran hidup yang terpatri kuat dalam ingatanku melebihi puluhan dalil-dalil yang diucapkan ustadz-ustadzku (mungkin karena aku belajar dengan sisa-sisa tenaga di penghujung hari kali ya…..wkwkwk). Babeh mengajarkan untuk tidak pernah lupa pada orang-orang kecil yang mungkin secara ekonomi belum lebih beruntung daripada kita. Karena mungkin saja doa-doa ataupun sekedar ucapan terima kasih  yang secara tak sengaja atau pun disengaja mereka ucapkan untuk kita diijabah oleh Allah. Bukankah doa kaum dhuafa mampu langsung menembus langit dan langsung didengar oleh Allah?. Bisa jadi doa-doa itu yang menolong kita kelak.
                “Allahu Akbar…..Allahu Akbar…” adzan magrib telah berkumandang, senja pun mulai masuk ke peraduan, tak terasa pikiranku melayang entah kemana. Dalam diam kami bercengkrama, bernostalgia dengan waktu bersama-sama. Entah sampai kapan aku bisa melihat senja bersama babeh, seiring kedewasaan dan waktu yang melesat dengan cepat, suatu saat aku pun akan merindukan masa-masa ini. Tapi bagiku kini, bisa bersama babeh menikmati senja merupakan kenikmatan yang tak akan pernah tergantikan. Semoga babeh sehat selalu, I love you babeh ^_^